Tradisi ini adalah tradisi umat Islam Semarang dalam rangka menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan yang biasanya digelar kira-kira 1-2 minggu sebelum puasa dimulai. Karena sudah berlangsung lama, tradisi Dugderan ini pun sudah menjadi semacam pesta rakyat. Meski sudah jadi semacam pesta rakyat --berupa tari japin, arak-arakan (karnaval) hingga tabuh bedug oleh Walikota Semarang, tetapi proses
ritual (pengumuman awal puasa) tetap menjadi puncak dugderan.
Memang sebelum acara tabuh bedug, biasanya ada karnaval diawali pemberangkatan peserta dari Balai Kota dan berakhir di masjid Kauman (masjid Agung), dekat Pasar Johar. Tapi dalam dua tahun terakhir ini, rute karnaval diperpanjang; dari Balai Kota menuju masjid Kauman lalu ke masjid Agung Jawa Tengah yang terletak di Gayamsari
Sejarah Dugderan
Umat Islam Semarang bisa dikata sudah tak asing lagi dengan dugderan. Meski zaman sudah berubah, tetap saja tradisi ini masih tetap bertahan. Kalau dibandingkan dengan Pasar Semawis atau PRPP yang diselenggarakan beberapa tahun lalu, jelas Dugderan masih melekat kuat di hati masyarakat walau tak dimungkiri usia dugderan sudah mencapai satu abad lebih.
Sejak kapan dugderan itu berlangsung? Sejarah mencatat, bahwa dugderan pertama kali digelar tahun 1881 oleh Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. Bupati satu ini dikenal kreatif dan memiliki jiwa seni tinggi sehingga menggagas satu acara untuk memberi semacam pertanda awal waktu puasa lantaran umat Islam pada masa itu belum memiliki keseragaman untuk berpuasa. Sang bupati memilih suatu pesta dalam bentuk tradisi guna menengahi terjadinya perbedaan dalam memulai jatuhnya awal puasa.
Untuk menandai dimulainya bulan Ramadhan itu, maka diadakan upacara membunyikan suara bedug (Dug..dug..dug) sebagai puncak "awal bulan puasa" sebanyak 17 (tujuh belas) kali dan diikuti dengan suara dentuman meriam (der..der..der...) sebanyak 7 kali. Dari perpaduan antara bunyi dug dan der itulah yang kemudian menjadikan tradisi atau kesenian yang digagas oleh Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat itu diberi nama "dugderan".
Pesan di Balik Dugderan
Meski dugderan sudah menjadi semacam pesta rakyat dan sudah menjadi tradisi yang cukup kuat dengan adanya perlombaan, karnaval,dan tarian, tetap saja dugderan tidak lepas dari puncak ritualnya berupa tabuh bedug dan halaqah yang menjadi akhir dari tradisi yang sudah bertahan seabad lebih itu. Karena itu, puncak ritual ini bukan semata-mata sekedar sebagai tradisi (kesenian rakyat), tapi salah satu budaya Islam Semarang yang punya pesan.
Pertama, salah satu pesan yang cukup kuat digelarnya tradisi (atau budaya) dugderan ini adalah pengumunan dimulainya bulan suci Ramadhan. Pengumunan itu dilambangkan dengan ditabuhnya bedug yang menjadi satu “tetenger”. Juga, pemukulan bedug itu jadi konsensus yang meneguhkan atau memberikan justifikasi ketetapan jatuhnya tanggal 1 bulan Ramadhan pada esok hari, apalagi umat Islam --tidak hanya di Semarang-- kerapkali memiliki perbedaan dalam menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.
ritual (pengumuman awal puasa) tetap menjadi puncak dugderan.
Memang sebelum acara tabuh bedug, biasanya ada karnaval diawali pemberangkatan peserta dari Balai Kota dan berakhir di masjid Kauman (masjid Agung), dekat Pasar Johar. Tapi dalam dua tahun terakhir ini, rute karnaval diperpanjang; dari Balai Kota menuju masjid Kauman lalu ke masjid Agung Jawa Tengah yang terletak di Gayamsari
Sejarah Dugderan
Umat Islam Semarang bisa dikata sudah tak asing lagi dengan dugderan. Meski zaman sudah berubah, tetap saja tradisi ini masih tetap bertahan. Kalau dibandingkan dengan Pasar Semawis atau PRPP yang diselenggarakan beberapa tahun lalu, jelas Dugderan masih melekat kuat di hati masyarakat walau tak dimungkiri usia dugderan sudah mencapai satu abad lebih.
Sejak kapan dugderan itu berlangsung? Sejarah mencatat, bahwa dugderan pertama kali digelar tahun 1881 oleh Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. Bupati satu ini dikenal kreatif dan memiliki jiwa seni tinggi sehingga menggagas satu acara untuk memberi semacam pertanda awal waktu puasa lantaran umat Islam pada masa itu belum memiliki keseragaman untuk berpuasa. Sang bupati memilih suatu pesta dalam bentuk tradisi guna menengahi terjadinya perbedaan dalam memulai jatuhnya awal puasa.
Untuk menandai dimulainya bulan Ramadhan itu, maka diadakan upacara membunyikan suara bedug (Dug..dug..dug) sebagai puncak "awal bulan puasa" sebanyak 17 (tujuh belas) kali dan diikuti dengan suara dentuman meriam (der..der..der...) sebanyak 7 kali. Dari perpaduan antara bunyi dug dan der itulah yang kemudian menjadikan tradisi atau kesenian yang digagas oleh Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat itu diberi nama "dugderan".
Pesan di Balik Dugderan
Meski dugderan sudah menjadi semacam pesta rakyat dan sudah menjadi tradisi yang cukup kuat dengan adanya perlombaan, karnaval,dan tarian, tetap saja dugderan tidak lepas dari puncak ritualnya berupa tabuh bedug dan halaqah yang menjadi akhir dari tradisi yang sudah bertahan seabad lebih itu. Karena itu, puncak ritual ini bukan semata-mata sekedar sebagai tradisi (kesenian rakyat), tapi salah satu budaya Islam Semarang yang punya pesan.
Pertama, salah satu pesan yang cukup kuat digelarnya tradisi (atau budaya) dugderan ini adalah pengumunan dimulainya bulan suci Ramadhan. Pengumunan itu dilambangkan dengan ditabuhnya bedug yang menjadi satu “tetenger”. Juga, pemukulan bedug itu jadi konsensus yang meneguhkan atau memberikan justifikasi ketetapan jatuhnya tanggal 1 bulan Ramadhan pada esok hari, apalagi umat Islam --tidak hanya di Semarang-- kerapkali memiliki perbedaan dalam menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.
0 komentar:
Post a Comment