Gelar pahlawan devisa yang disematkan pemerintah kepada para TKI semakin terbukti hanya penyedap di atas derita. Adalah Ruyati binti Sapudi, TKI yang bekerja di Arab Saudi menemui nasib naas dipancung atas tuduhan membunuh majikannya.
Eksekusi terhadap Ruyati itu terjadi belum lama sejak Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) menandatangani nota kesepahaman dengan Menteri Luar Negeri Arab Saudi. Anggota DPR juga baru melakukan kunjungan ke Arab Saudi. Eksekusi itu terjadi hanya 5 hari setelah Presiden SBY berpidato di depan Organisasi Buruh Internasional di bawah PBB (International Labour Organization/ILO). Dalam pidato berjudul
Forging A New Global Employment Framework for Social Justice and Eguality di konferensi ILO di Jenewa Swiss itu, dengan lantang dan berani presiden SBY menyampaikan bahwa buruh migran di Indonesia disebut sebagai pahlawan devisa dan sebagai pahlawan mereka yang di rumah. Presiden juga menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang telah meratifikasi konvensi TKI. Dengan terjadinya eksekusi itu, wajar bila pidato itu dianggap pepesan kosong, manis di permukaan tapi pahit dalam kenyataan, khususnya bagi tenaga kerja migran Indonesia.
Antara Devisa dan Derita
Dalam pidato pesiden SBY, disebutkan jumlah TKI di luar negeri 3.2771.584 orang (tempointeraktif, 19/11/10). Jumlah itu tersebar di banyak negara. Jika ditambah yang ilegal, jumlah itu bisa lebih besar lagi. Dari jumlah itu mayoritasnya menjadi pekerja sektor informal, berpendidikan rendah, malah ada yang buta huruf. Penempatan TKI di sektor informal masih mendominasi hingga 78 persen, dan yang paling banyak menjadi pembantu rumah tangga.
Dengan jumlah sebesar itu, jumlah penerimaan devisa negara dari TKI pun sangat besar. Menurut Migrant Care pada tahun 2009 saja, jumlah remitansi yang dikirim TKI ke tanah air mencapai US$ 6,617 miliar (sekitar Rp 60 triliun), jumlah devisa kedua terbesar setelah sektor migas. Bahkan Bank Dunia memprediksi pada tahun 2010 jumlah itu akan naik menjadi sekitar US$ 7,1 miliar.
Yang menyedihkan, dari jumlah itu puluhan ribu orang dari mereka harus menghadapi masalah seperti PHK sepihak, sakit akibat kerja, gaji tidak dibayar, penganiayaan, pelecehan seksual, dokumen tidak lengkap, sakit bawaan, majikan bermasalah, pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja, majikan meninggal, TKI hamil, komunikasi tidak lancar, tidak mampu bekerja, pulang bawa anak karena perkosaan dan hubungan tak sah, dan lain-lain. Tidak sedikit yang menghadapi kekerasan, penyiksaan bahkan hingga meninggal. Sebagian lain dihukum mati. Saat ini ratusan orang TKI sedang terancam hukuman mati.
Kesengsaraan para TKI tidak saja dialami di luar negeri. Ketika mereka pulang ke tanah air telah bergentayangan mafia yang siap memeras uang para TKI tersebut. Ironisnya pemerasan itu dialami oleh para TKI yang pulang ke tanah air melalui Gedung Pendataan Kepulangan Tenaga Kerja Indonesia (GPK TKI) Selapajang di Bandara Soekarno-Hatta. Mereka dipaksa membayar ongkos pulang yang tarifnya tidak masuk akal dan beragam pungutan liar yang tidak sedikit (kompas.com,2/09/2009). Singkat kata, TKI diperas sampai lemas.
Akar Masalah
Meski banyak TKI yang menghadapi kemalangan seperti itu, tetap saja banyak orang tergiur menjadi TKI di luar negeri. Himpitan kemiskinan, kesulitan hidup, sulitnya mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang layak di dalam negeri, dan harapan perbaikan nasib, membuat mereka tetap nekat. Apalagi tidak ada jaminan apapun bagi mereka atas pemenuhan kebutuhan pokok mereka, juga jaminan kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia memang masih tinggi, mencapai 31,02 juta jiwa, atau 13,33 persen (tribunnews.com, 1/07/2010). Warga pedesaan adalah jumlah warga miskin terbanyak di negeri ini dengan angka 64,23 persen. Sementara 60 persen warga miskin di Indonesia adalah wanita. Dari sisi lapangan kerja, meski menurut pemerintah tingkat pengangguran menurun, tetapi hingga Februari 2011 angkanya masih mencapai 8,12 juta orang.
Semua itu adalah akibat sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi dan diterapkan di negeri ini. Dalam sistem kapitalisme, apalagi sistem neoliberal yang kini diterapkan, pemerintah hanya berperan sebagai regulator bukan pelaku dan penanggung jawab perekonomian. Dalam kapitalisme negara tidak berkewajiban memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, begitupun pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan lainnya. Rakyat dibiarkan mengais makan sendiri tanpa peran layak dari negara. Maka kebijakan mengirimkan TKI pun terus dijadikan pilihan.
Negeri ini terbilang sangat kaya. Tetapi akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme, kekayaan negeri ini tidak terdistribusi secara merata dan adil. Sebaliknya kekayaan justru terkonsentrasi pada sebagian kecil masyarakat. Bahkan melalui kebijakan privatisasi, investasi asing, pemberian konsesi pertambangan, dan kebijakan bercorak kapitalisme neo liberal lainnya, kekayaan negeri ini justru lebih banyak dinikmati asing.
Di sisi lain, banyak harta yang berputar di sektor non riil yang tidak banyak menciptakan lapangan kerja. Akibatnya sektor riil yang berhubungan langsung dengan penciptaan lapangan kerja tidak mendapatkan perhatian dan dukungan yang semestinya.
Ringkasnya, di dalam sistem kapitalisme, adanya kemiskinan adalah pasti. Bahkan yang terjadi adalah pemiskinan secara struktural. Pengangguran juga akan tetap jadi masalah. Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan tidak ada. Maka jelaslah, bahwa penerapan sistem kapitalisme menjadi aar masalah dari problem TKI selama ini.
Menuntaskan Masalah TKI
Masalah TKI tidak akan bisa dituntaskan selama sistem kapitalisme tetap diadopsi dan diterapkan. Sebab sistem kapitalisme itulah menjadi akar masalahnya. Karena itu jika kita ingin menuntaskan masalah TKI, sistem kapitalisme harus dicampakkan.
Lalu diganti dengan apa? Tentu dengan sistem Islam. Sistem Islam akan mampu menyelesaikan masalah TKI dan masalah lainnya.
Dalam sistem Islam, negara wajib memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan bagi setiap individu rakyat. Pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan diberikan secara langsung. Sistem Islam memiliki aturan yang menjamin hal itu bisa dilaksanakan. Diantaranya adalah dengan menetapkan harta-harta tertentu seperti barang tambang, hutan, dan kekayaan alam lainnya sebagai harta milik publik. Harta itu harus dikelola negara mewakili rakyat, dan hasilnya seratus persen dikembalikan kepada rakyat diantaranya dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan pelayanan lainnya. Hal itu masih ditambah oleh hanyak hukum Islam tentang ekonomi yang menjamin hal itu.
Sementara jaminan pemenuhan kebutuhan pokok ditempuh melalui mekanisme tertentu. Setiap inidvidu, khususnya laki-laki diwajibkan bekerja. Dan negara wajib menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya. Negara juga akan membantu siapapun yang mampu bekerja sehingga ia bisa berusaha, termasuk dengan bantuan modal. Imam Muslim dan Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah memberi 2 dirham kepada seorang Anshor yang datang mengeluhkan kesulitan ekonominya. Nabi saw. berpesan agar satu dirham dipakai untuk membeli kapak untuk mencari kayu di hutan, dan Nabi saw. memerintahkannya agar dia kembali lagi setelah 15 hari. Ketika kembali orang Anshor itu mengatakan bahwa kehidupannya jauh lebih baik.
Dengan sumber daya yang luar biasa negara akan bisa membuka lapangan kerja seluas-luasnya dan menggerakkan roda perekonomian. Ditambah lagi, dalam sistem Islam sektor non riil dihapuskan. Sehingga semua sumber daya ekonomi akan ditumpahkan ke sektor riil, yang tentu saja akan menciptakan sangat banyak lapangan kerja.
Jika masih ada yang belum tercukupi kebutuhan pokoknya, maka kerabatnya diharuskan untuk menanggungnya sesuai kemampuan mereka (QS al-Baqarah [2]: 233). Jika masih ada yang tidak terpenuhi, maka pemenuhannya menjadi tanggungjawab baitul mal negara. Nabi saw. bersabda:
Jika pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat, begitu pula pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan dijamin oleh negara; lapangan kerja juga tersedia secara luas, maka bekerja di luar negeri yang riskan dengan berbagai masalah tidak akan menarik lagi. Dengan begitu problem seperti problem TKI tidak akan muncul. Jika pun kemudian masih ada rakyat yang bekerja di luar negeri, maka negara dengan kemampuannya yang besar akan memberikan perlindungan.
Wahai Kaum Muslim
Jelaslah, hanya dengan penerapan sistem Islam problem TKI bisa dituntaskan. Penerapan sistem Islam tidak mungkin kecuali melalui institusi Khilafah Islamiyah. Maka sudah saatnya kita semua dengan sungguh-sungguh melibatkan diri berpartisipasi dalam perjuangan menegakkkan sistem Islam (syariah) dalam bingkai Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwah. Menunda-nundanya sama saja memperpanjang probem dan penderitaan bagi umat ini. Relakah kita demikian? Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam
Pada tahun 2010, prevalensi penyalahgunaan narkoba meningkat menjadi 2,21 persen atau sekitar 4,02 juta orang. Pada tahun 2011, prevalensi penyalahgunaan meningkat menjadi 2,8 persen atau sekitar 5 juta orang. (Kompas.com, 26/6)
Sumber
Eksekusi terhadap Ruyati itu terjadi belum lama sejak Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) menandatangani nota kesepahaman dengan Menteri Luar Negeri Arab Saudi. Anggota DPR juga baru melakukan kunjungan ke Arab Saudi. Eksekusi itu terjadi hanya 5 hari setelah Presiden SBY berpidato di depan Organisasi Buruh Internasional di bawah PBB (International Labour Organization/ILO). Dalam pidato berjudul
Forging A New Global Employment Framework for Social Justice and Eguality di konferensi ILO di Jenewa Swiss itu, dengan lantang dan berani presiden SBY menyampaikan bahwa buruh migran di Indonesia disebut sebagai pahlawan devisa dan sebagai pahlawan mereka yang di rumah. Presiden juga menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang telah meratifikasi konvensi TKI. Dengan terjadinya eksekusi itu, wajar bila pidato itu dianggap pepesan kosong, manis di permukaan tapi pahit dalam kenyataan, khususnya bagi tenaga kerja migran Indonesia.
Antara Devisa dan Derita
Dalam pidato pesiden SBY, disebutkan jumlah TKI di luar negeri 3.2771.584 orang (tempointeraktif, 19/11/10). Jumlah itu tersebar di banyak negara. Jika ditambah yang ilegal, jumlah itu bisa lebih besar lagi. Dari jumlah itu mayoritasnya menjadi pekerja sektor informal, berpendidikan rendah, malah ada yang buta huruf. Penempatan TKI di sektor informal masih mendominasi hingga 78 persen, dan yang paling banyak menjadi pembantu rumah tangga.
Dengan jumlah sebesar itu, jumlah penerimaan devisa negara dari TKI pun sangat besar. Menurut Migrant Care pada tahun 2009 saja, jumlah remitansi yang dikirim TKI ke tanah air mencapai US$ 6,617 miliar (sekitar Rp 60 triliun), jumlah devisa kedua terbesar setelah sektor migas. Bahkan Bank Dunia memprediksi pada tahun 2010 jumlah itu akan naik menjadi sekitar US$ 7,1 miliar.
Yang menyedihkan, dari jumlah itu puluhan ribu orang dari mereka harus menghadapi masalah seperti PHK sepihak, sakit akibat kerja, gaji tidak dibayar, penganiayaan, pelecehan seksual, dokumen tidak lengkap, sakit bawaan, majikan bermasalah, pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja, majikan meninggal, TKI hamil, komunikasi tidak lancar, tidak mampu bekerja, pulang bawa anak karena perkosaan dan hubungan tak sah, dan lain-lain. Tidak sedikit yang menghadapi kekerasan, penyiksaan bahkan hingga meninggal. Sebagian lain dihukum mati. Saat ini ratusan orang TKI sedang terancam hukuman mati.
Kesengsaraan para TKI tidak saja dialami di luar negeri. Ketika mereka pulang ke tanah air telah bergentayangan mafia yang siap memeras uang para TKI tersebut. Ironisnya pemerasan itu dialami oleh para TKI yang pulang ke tanah air melalui Gedung Pendataan Kepulangan Tenaga Kerja Indonesia (GPK TKI) Selapajang di Bandara Soekarno-Hatta. Mereka dipaksa membayar ongkos pulang yang tarifnya tidak masuk akal dan beragam pungutan liar yang tidak sedikit (kompas.com,2/09/2009). Singkat kata, TKI diperas sampai lemas.
Akar Masalah
Meski banyak TKI yang menghadapi kemalangan seperti itu, tetap saja banyak orang tergiur menjadi TKI di luar negeri. Himpitan kemiskinan, kesulitan hidup, sulitnya mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang layak di dalam negeri, dan harapan perbaikan nasib, membuat mereka tetap nekat. Apalagi tidak ada jaminan apapun bagi mereka atas pemenuhan kebutuhan pokok mereka, juga jaminan kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia memang masih tinggi, mencapai 31,02 juta jiwa, atau 13,33 persen (tribunnews.com, 1/07/2010). Warga pedesaan adalah jumlah warga miskin terbanyak di negeri ini dengan angka 64,23 persen. Sementara 60 persen warga miskin di Indonesia adalah wanita. Dari sisi lapangan kerja, meski menurut pemerintah tingkat pengangguran menurun, tetapi hingga Februari 2011 angkanya masih mencapai 8,12 juta orang.
Semua itu adalah akibat sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi dan diterapkan di negeri ini. Dalam sistem kapitalisme, apalagi sistem neoliberal yang kini diterapkan, pemerintah hanya berperan sebagai regulator bukan pelaku dan penanggung jawab perekonomian. Dalam kapitalisme negara tidak berkewajiban memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, begitupun pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan lainnya. Rakyat dibiarkan mengais makan sendiri tanpa peran layak dari negara. Maka kebijakan mengirimkan TKI pun terus dijadikan pilihan.
Negeri ini terbilang sangat kaya. Tetapi akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme, kekayaan negeri ini tidak terdistribusi secara merata dan adil. Sebaliknya kekayaan justru terkonsentrasi pada sebagian kecil masyarakat. Bahkan melalui kebijakan privatisasi, investasi asing, pemberian konsesi pertambangan, dan kebijakan bercorak kapitalisme neo liberal lainnya, kekayaan negeri ini justru lebih banyak dinikmati asing.
Di sisi lain, banyak harta yang berputar di sektor non riil yang tidak banyak menciptakan lapangan kerja. Akibatnya sektor riil yang berhubungan langsung dengan penciptaan lapangan kerja tidak mendapatkan perhatian dan dukungan yang semestinya.
Ringkasnya, di dalam sistem kapitalisme, adanya kemiskinan adalah pasti. Bahkan yang terjadi adalah pemiskinan secara struktural. Pengangguran juga akan tetap jadi masalah. Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan tidak ada. Maka jelaslah, bahwa penerapan sistem kapitalisme menjadi aar masalah dari problem TKI selama ini.
Menuntaskan Masalah TKI
Masalah TKI tidak akan bisa dituntaskan selama sistem kapitalisme tetap diadopsi dan diterapkan. Sebab sistem kapitalisme itulah menjadi akar masalahnya. Karena itu jika kita ingin menuntaskan masalah TKI, sistem kapitalisme harus dicampakkan.
Lalu diganti dengan apa? Tentu dengan sistem Islam. Sistem Islam akan mampu menyelesaikan masalah TKI dan masalah lainnya.
Dalam sistem Islam, negara wajib memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan bagi setiap individu rakyat. Pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan diberikan secara langsung. Sistem Islam memiliki aturan yang menjamin hal itu bisa dilaksanakan. Diantaranya adalah dengan menetapkan harta-harta tertentu seperti barang tambang, hutan, dan kekayaan alam lainnya sebagai harta milik publik. Harta itu harus dikelola negara mewakili rakyat, dan hasilnya seratus persen dikembalikan kepada rakyat diantaranya dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan pelayanan lainnya. Hal itu masih ditambah oleh hanyak hukum Islam tentang ekonomi yang menjamin hal itu.
Sementara jaminan pemenuhan kebutuhan pokok ditempuh melalui mekanisme tertentu. Setiap inidvidu, khususnya laki-laki diwajibkan bekerja. Dan negara wajib menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya. Negara juga akan membantu siapapun yang mampu bekerja sehingga ia bisa berusaha, termasuk dengan bantuan modal. Imam Muslim dan Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah memberi 2 dirham kepada seorang Anshor yang datang mengeluhkan kesulitan ekonominya. Nabi saw. berpesan agar satu dirham dipakai untuk membeli kapak untuk mencari kayu di hutan, dan Nabi saw. memerintahkannya agar dia kembali lagi setelah 15 hari. Ketika kembali orang Anshor itu mengatakan bahwa kehidupannya jauh lebih baik.
Dengan sumber daya yang luar biasa negara akan bisa membuka lapangan kerja seluas-luasnya dan menggerakkan roda perekonomian. Ditambah lagi, dalam sistem Islam sektor non riil dihapuskan. Sehingga semua sumber daya ekonomi akan ditumpahkan ke sektor riil, yang tentu saja akan menciptakan sangat banyak lapangan kerja.
Jika masih ada yang belum tercukupi kebutuhan pokoknya, maka kerabatnya diharuskan untuk menanggungnya sesuai kemampuan mereka (QS al-Baqarah [2]: 233). Jika masih ada yang tidak terpenuhi, maka pemenuhannya menjadi tanggungjawab baitul mal negara. Nabi saw. bersabda:
«مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِوَرَثَتِهِ، وَمَنْ تَرَكَ كَلاًّ فَإِلَيْنَا»
Siapa saja yang meninggalkan harta maka itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang meninggalka orang yang terlantar maka itu menjadi tanggungan kami (HR al-Bukhari dan Abu Dawud)Jika pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat, begitu pula pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan dijamin oleh negara; lapangan kerja juga tersedia secara luas, maka bekerja di luar negeri yang riskan dengan berbagai masalah tidak akan menarik lagi. Dengan begitu problem seperti problem TKI tidak akan muncul. Jika pun kemudian masih ada rakyat yang bekerja di luar negeri, maka negara dengan kemampuannya yang besar akan memberikan perlindungan.
Wahai Kaum Muslim
Jelaslah, hanya dengan penerapan sistem Islam problem TKI bisa dituntaskan. Penerapan sistem Islam tidak mungkin kecuali melalui institusi Khilafah Islamiyah. Maka sudah saatnya kita semua dengan sungguh-sungguh melibatkan diri berpartisipasi dalam perjuangan menegakkkan sistem Islam (syariah) dalam bingkai Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwah. Menunda-nundanya sama saja memperpanjang probem dan penderitaan bagi umat ini. Relakah kita demikian? Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam
Pada tahun 2010, prevalensi penyalahgunaan narkoba meningkat menjadi 2,21 persen atau sekitar 4,02 juta orang. Pada tahun 2011, prevalensi penyalahgunaan meningkat menjadi 2,8 persen atau sekitar 5 juta orang. (Kompas.com, 26/6)
- Konyolnya, pemakaian narkoba dalam jumlah sedikit tidak dianggap pidana. Pantas saja kasus narkoba justru makin menjadi.
- Itulah buah menyebarnya sekulerisme, liberalisme dan hedonisne. Itulah akibat diterapkannya kapitalisme.
- Terapkan Sistem Islam dalam bingkai Khilafah jika ingin masalah narkoba tinggal sejarah.
Sumber
0 komentar:
Post a Comment